Minggu, 17 Januari 2016

Adat Istiadat Masyarakat Brebes


Adat Istiadat Masyarakat Brebes


      Adat istiadat yang ada di tengah masyarakat Brebes, tidak lepas dari budaya dan tradisi yang sudah  melekat dalam keseharian masyarakatnya. Adat istiadat itu, selalu dijiwai semangat kegotongroyongan, kebersamaan dan silaturahmi. Beberapa kegiatan adat istiadat yang ada di masyarakat, hingga kini masih tetap dilestarikan. Seperti sedekah bumi, sedekah laut, halal bihalal, khaul dan adat-adat lainnya.

Adat istiadat yang ada sekarang ini, perlu dilestarikan agar generasi muda tidak sampai tidak tahu, apa dan bagaimana adat istiadat yang ada di lingkungannya. Karena pada dasarnya, adat istiadat itu memiliki makna dan pelajaran hidup bagi masyarakatnya. Sehingga harapannya, ketika generasi muda mengenal dan memahami adat istiadatnya, selain tradisi itu tetap lestari, juga yang paling penting adalah nilai dan ajaran adat istiadat itu mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. 


1. Sedekah Bumi

Sedekah bumi, berarti bersedekah atas hasil bumi atau pertanian yang diperolehnya. Sedekah dilakukan setelah masa panen, biasanya setelah panen padi baru digelar sedekah bumi. Yang harus digarisbawahi, bahwa sedekah bumi ini, bukan sedekah kepada bumi atau tanah. Pengertian sedekah bumi ini sering disalah artikan, seolah-olah bumi atau tanah yang diberi sedekah, sehingga sering menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Karenanya, pengertian sedekah bumi ini harus dijelaskan dan latar belakang adat istiadat ini juga perlu disampaikan. Sehingga tidak sampai timbul pengertian yang salah atas adat istiadat sedekah bumi.

Sedekah bumi ini, biasanya diwarnai dengan pentas wang kulit atau wayang golek. Lakon yang dibawakan dalam pentas wayang ini, biasanya sesuai dengan maksud dan tujuan sedekah bumi tersebut, yakni terkait dengan ungkapan syukur kepada Tuhan, atas hasil yang diperoleh dari bumi Tuhan tersebut berupa hasil-hasil pertanian yang melimpah.

Pelaksanaan kegiatan sedekah bumi ini, biayanya dilakukan secara bergotong royong, iuran seluruh warga, khususnya para petani. Lokasi digelarnya sedakah bumi, biasanya di pusat desa, seperti di balai desa atau pun lapangan desa, atau juga di dekat pintu air yang merupakan pusat pengairan di desa tersebut. Sebagian besar desa di Kabupaten Brebes masih menyelenggarakan tradisi ini. Namun beberapa desa sudah jarang menggelar tradisi, karena mahalnya biaya penyelenggaraan. Sementara kondisi ekonomi warga, khususnya petani masih memprihatinkan. Sehingga tradisi sedekah bumi ini tidak digelar setiap tahun, tapi hanya dilakukan beberapa tahun sekali, tergantung situasi dan kondisi ekonomi warganya.

Dalam pentas wayang itu, warga khususnya petani, berbondong-bondong memberikan sedekah dalam bentuk ambeng untuk dimakan bersama-sama. Ambeng atau makanan bersama lauk-pauknya diberikan saat pentas itu berlangsung. Selain pentas wayang, biasanya juga diisi dengan pengajian, yakni dengan mengundang penceramah, baik kiai atau ustdaz untuk memberikan mauidhoh khasanah, pelajaran yang baik. 


2. Sedekah Laut

Sedekah laut tidak berbeda jauh dengan sedekah bumi. Pengertian sedekah laut adalah bersedakah atas hasil laut yang diperoleh para nelayan. Pengertian sedekah laut, saat ini juga ada kesalahpahaman, di mana sedekah laut sering dianggap bersedekah kepada laut. Antara lain dengan melarung kepala kerbau, sesaji dan beberapa makanan. 

Sedekah laut ini, juga biasanya digelar saat petani menikmati hasil tangkapan yang bagus. Mereka bergotong royong menyisihkan sebagian hasil dari usahanya di laut untuk bersedekah bersama-sama. Seperti halnya sedekah bumi, para nelayan itu membuat ambeng atau tumpeng untuk di makan bersama. Salah satunya dengan memotong kerbau, dan potongan kepala kerbau tersebut dilarung ke tengah laut. Sementara daging kerbaunya dimakan bersama-sama.

Dalam perkembangannya, tradisi sedekah laut ini mulai bergeser di beberapa wilayah pusat nelayan. Yang tadinya merupakan sedekah, ungkapan rasa syukur para nelayan atas hasil tangkapan lautnya, kini berubah menjadi pesta laut. Di mana nilai-nilai religius dari pelaksanaan sedekah laut itu mulai hilang. Yang muncul justru terkesan pesta pora, atas apa yang diperoleh selama di laut. Mereka berpesta pora, bersenang-senang sendiri. Sejumlah hiburan pun menjadi ajang pesta pora tersebut, seperti hiburan musik dangdut, dan sejenisnya.

Tradisi sekedah laut di Kabupaten Brebes yang masih aktif hingga saat ini antara lain di Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba, Desa Pengaradan dan Desa Krakahan, Kecamatan Tanjung, Desa Prapag, Kecamatan Losari. 


3. Khaul
      
Khaul berarti memperingati satu tahun kematian seseorang. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang dikembangkan umat Islam di Indonesia, termasuk di Kabupaten Brebes. Khaul biasanya dilakukan untuk memperingati kematian tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai dan ulama besar yang diakui oleh masyarakat.  

Tradisi khaul itu yakni dengan menggelar pengajian, yang sebelumnya diisi dengan bacaan-bacaan tahlil, yang diikuti seluruh peserta yang hadir. Tempat pelaksanaan khaul biasanya di kompleks makam orang yang dikhauli tersebut atau di rumah keluarga, yang biasanya juga ada pesantren. 
          
Tradisi khaul ini, juga ada yang diselenggarakan bersama-sama warga satu desa. Warga bergotong royong, iuran biaya penyelenggaraan khaul bersama-sama tersebut. Sehingga bukan hanya seseorang saja yang dikhauli, tapi seluruh warga yang telah meninggal di desa tersebut dikhauli bersama, yakni dengan menggelar tahlil bersama dan dilanjutkan dengan tausiyah keagamaan.


4. Bada Kupat dan Halal Bihalal

Penduduk Kabupaten Brebes yang mayoritas beragama Islam, memiliki dua hari raya, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Hari raya yang dirayakan cukup meriah yakni Hari Raya Idul Fitri, di mana sebagian besar warga yang merantau berusaha untuk pulang kampung halamannya masing-masing, termasuk di Kabupaten Brebes. Sehingga muncul tradisi mudik setiap tahun, yakni sebelum Lebaran berlangsung, biasanya mereka mudik seminggu sebelum Lebaran.

Setelah merayakan Idul Fitri, satu pekan kemudian atau tujuh hari setelah Idul Fitri, ada perayaan bada Syawal atau Bada Kupat. Tradisi ini dilakukan setelah umat Islam yang telah meryakan Idul Fitri, dilanjutkan dengan puasa sunnah selama 6 hari. Biasanya warga membuat ketupat atau kupat untuk dimakan bersama-sama, baik di rumah atau musholla. Sehingga banyak warga yang menyebutnya sebagai Bada Kupat.

Selain itu, pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri juga diramaikan dengan halal bihalal. Halal bihalal ini juga merupakan salah satu tradisi umat Islam di Indonesia, termasuk Kabupaten Brebes. Halal bihalal ini merupakan wahana untuk saling bersilaturahmi, baik antara keluarga, rekan, sahabat atau instansi pemerintahan. Halal bihalal ini dilakukan selama bulan Syawal berlangsung. Tradisi halal bihalal ini berisi agenda saling maaf-memaafkan dan salam-salaman, serta saling mengenal di antara keluarga besar, yang kadang sudah tersebar di tempat-tempat yang berbeda. Dengan halal bihalal, tali silaturahmi antar keluarga bisa tetap berjalan. Bahkan keluarga yang telah bermukim di luar kota atau merantu hingga ke luar daerah pun rela datang untuk berhalal bihalal bersama keluarga besarnya.


5. Manten Tebu

Manten tebu, bukan berati pesta pernikahan seseorang dengan latar belakang tebu. Tetapi merupakan upacara atau tradisi yang dilakukan sebelum penggilingan tebu di pabrik gula ini dimulai. Disebut manteh tebu, lantaran dalam tradisi itu ada iriang-iringan tebu, yang dirias seperti pengatin, ada yang dirias seperti pengantin perempuan dan ada yang dirias seperti pengantin laki-laki.

Tradisi pengantin tebu ini hanya ada di daerah yang memiliki pabrik tebu. Di Kabupaten Brebes, tradisi ini masih berlangsung di Pabrik Gula (PG) Jatibarang. Sementara PG Banjaratma, yang sudah gulung tikar, otomatis tidak ada lagi tradisi manten tebu.


Tradisi manten tebu ini, bertujuan agar selama proses penggilingan tebu menjadi gula, berjalan lancar tanpa kendala. Selain itu, juga diharapkan hasil rendemen tebunya juga baik, sehingga petani bisa menghasilkan pendapatan yang baik pula. 


6. Ronggeng Kaligua

Ronggeng Kaligua adalah tradisi yang dilakukan saat ulang tahun PTPN IX Kaligua. Dalam ulang tahun itu, selalu ditampilkan tarian ronggeng. Di mana tarian ronggeng ini, dulunya saat perkebunan Kaligua didirikan, dimaksudkan untuk menghibur para pekerja. Sehingga para pekerja waktu itu, tidak bosan dan malas-malasan dalam bekerja, karena sudah dihibur dengan tarian ronggeng.


7. Puputan Rumah

Puputan rumah berarti tanda pembangunan rumah itu telah selesai dan siap ditempati pemiliknya. Dalam pelaksanaannya, puputan biasanya dilakukan saat pemilik rumah itu akan mempunyai hajatan. Sebelum hajatan itu digelar, rumah yang belum digelar puputan, akan mengadakan puputan rumah terlebih dahulu. Namun bagi yang memiliki harta yang cukup, biasanya puputan rumah dilakukan saat rumah itu ditempati. Sehingga suatu saat akan digelar hajatan di rumah tersebut, tidak perlu lagi digelar puputan rumah.

Puputan rumah itu sendiri merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan, yang telah memberinya rejeki, hingga bisa membuat rumah sendiri. Selain itu, juga bertujuan agar pemilik rumah selama menempati rumah itu selalu diberi keberkahan dan keselamatan. Keluarga yang menempati rumah itu diberi kesehatan dan perlindungan dari Tuhan. Puputan rumah, juga dalam rangka tolak bala, meminta perlindungan kepada Tuhan agar dijauhkan dari segala bencana.

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar